Hukum Kontrak Konstruksi

Dalam dunia konstruksi, kontrak merupakan manifestasi dari prinsip Pacta Sun Servanda karena kontrak konstruksi mengandung sejumlah penafsiran, dimana setiap pihak yang terlibat dalam kontrak harus memahami posisi dan kapasitasnya dalam proses kontrak tersebut. Konsekuensi dari perjanjian yang dibuat adalah terikatnya para pihak yang terlibat untuk melaksanakannya dengan itikad baik. Dalam terminologi hukum, hal ini sering disebut dengan Pacta Sun Servanda.. Di Indonesia, pembanguanan bidang konstruksi sedang marak dilaksanakan hingga ke pelosok tanah air, dimana sistem pelaksanaannya diawali dari tahap identifikasi kebutuhan, tahap pengadaan, tahap pelaksanaan dan pemeliharaan serta tahap serahterima. Semua tahapan tersebut berada dalam satu sistem yang disebut dengan pengadaan barang dan jasa (PBJ). Karena PBJ dilakukan untuk pembangunan negara dan menggunakan biaya keuangan negara, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) maupun melalui Pinjaman Luar Negeri. Maka PBJ disebut juga dengan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJP). Kontrak dalam PBJP adalah perjanjian tertulis antara PA/KPA/PPK dengan Pihak Penyedia Jasa atau Pihak Pelaksana Swakelola. Engineering Procurement Construction (EPC) adalah kontrak yang lazimnya digunakan oleh penyedia / kontraktor dalam pekerjaan konstruksi. Kontrak EPC terbagi dalam tiga jenis yaitu desain engineering, pengadaan dan pelaksanaan. Kontrak EPC memiliki resiko tinggi baik terhadap biaya, waktu dan mutu (Dwi Maryati, 2018). Pengikatan melalui kontrak konstruksi menjadi sangat penting untuk dilakukan karena konstruksi saat ini merupakan bidang jasa yang diminati oleh berbagai kalangan masyarakat, sebagaimana tercermin dari pertumbuhan jumlah perusahaan/badan usaha yang bergerak dalam penyediaan jasa konstruksi.