Living Qur’an dalam Tradisi Islam Lokal: Perayaan Khataman Al-Qur’an di Sulawesi Selatan

Di dalam sejarahnya, Al-Qur’an disampaikan di ruang kemanusiaan beserta kebudayaan yang menyertainya. Kawasan Arab menjadi wilayah pertama yang dijumpai Al-Qur’an, dan di sanalah terjadi dialog antara teks dan kebudayaan tersebut. Dialog ini kemudian menghasilkan fenomena Al-Qur’an, baik berdasar pada pemahaman atas makna-makna Al-Qur’an maupun tidak. Fenomena ini telah muncul pada era pewahyuan, misalnya diwahyukannya QS. Al-Nas dan QS. Al-Falaq sebagai membentengi Nabi dari tindakan sihir (guna-guna) dari seorang dukun. Al-Qur’an sendiri menyebut dirinya sebagai syifa, yang oleh sebagian penafsir merujuk pada makna obat fisik dan rohani.

Dalam kasus lain, Nabi Muhammad SAW pernah mengobati sakitnya dengan membaca QS. Al-Fatihah. Surah yang sama pernah dipakai oleh Sahabat Nabi bernama Abu Sa’id Al-Khudri ketika mengobati seorang Sang Raja. Kisah lainnya, seorang Imam di kalangan Sahabat Nabi rutin membaca QS. Al-Ikhlas setiap membaca QS. Al-Fatihah, padahal ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Nabi menanyakan alasan sahabat tersebut, lalu jawaban Sahabat tersebut adalah karena kecintaannya terhadap surat tersebut. Nabi lalu mengatakan bahwa ‘karena kecintaanmu kepada QS. Al-Ikhlas kelak yang mengantarkanmu ke Surga’.

Masih sangat banyak fenomena Al-Qur’an yang dapat dijumpai sepanjang sejarah Islam baik di kawasan Al-Qur’an pertama kali disampaikan, yaitu Arab, maupun di luarnya. Di Sulawesi Selatan, konon, seorang Raja Gowa-Tallo yang kemudian bernama Sultan Alauddin dituliskan QS. Al-Fatihah di kuku ibu jarinya saat berjumpa dengan pendakwah dari Aceh, Dato’ ri Bandang. Demikian juga fenomena perayaan khataman Al-Qur’an di Sulawesi Selatan yang juga merupakan