Studi Hadis: Memelihara Warisan Nabi

Sebagai mashâdir al-tasyrî’ (sumber hukum Islam) kedua setelah al-Qur’an, hadis Nabi saw. memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian keislaman. Namun karena pembukuan hadis baru dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama—hampir seratus tahun—sejak meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadis yang beredar di kalangan umat kemudian patut diperdebatkan. Pada sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering dijadikan celah dan starting point oleh musuh-musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau berpaling dari hadis Nabi, yang dikenal dengan paham inkarus-sunnah. Lebih-lebih diketahui bahwa, lingkungan Nabi hidup ketika itu, kurang akrab dengan tradisi tulis menulis. Oleh sebab itu, keabsahan dan orisinalitas hadis yang ada memang harus diteliti. Pun demikian, pemahaman terhadap berbagai istilah dan kaidah itu tampaknya juga belum menjamin para pengkaji hadis akan mampu meneliti dan memahami hadis secara benar. Dinyatakan demikian, karena kompleksitas permasalahannya memang sangat beragam. Untuk menghindari kesalahan dalam meneliti dan memahami hadis, maka ulama hadis—sesuai dengan bidang keahlian masing-masing—kemudian juga menciptakan seperangkat ilmu. Cabang-cabang pengetahuan itu, ada yang berhubungan dengan dengan sanad, ada yang berhubungan dengan matan, dan ada yang berhubungan dengan sanad dan matan.