Unifikasi Kalender Hijriah Perspektif Imkān Ar-Rukyāt Neo-Mabims

Dalam menentukan awal bulan Hijriah, negara-negara anggota MABIMS belum sepenuhnya menyetujui kriteria imkān ar-rukyāt Neo MABIMS. Pemerintah Indonesia memilih awal bulan Hijriah melalui sidang istbat berdasarkan laporan dari organisasi sosial keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kriteria imkān ar-rukyāt Neo MABIMS yang diusulkan pemerintah belum sepenuhnya diterima dan digunakan sebagai kriteria standar untuk menentukan awal bulan Hijriah. Kriteria hisab hakiki wujūd al-hilāl masih digunakan oleh Muhammadiyah.

buku ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan literatur tentang perbedaan awal bulan hijriah dengan mengkaji secara mendalam bagaimana kriteria imkān ar-rukyāt Neo MABIMS dapat diterima dan diimplementasikan baik oleh NU maupun Muhammadiyah serta dapat dijadikan formulasi baru dalam perumusan kalender hijriah nasional. Khususnya, dengan merujuk pada standar kriteria imkān ar-rukyāt Neo MABIMS dengan parameter ketinggian hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat. Rumusan baru tersebut sebagai titik tolak untuk memandu dari keseluruhan pembahasan dalam buku ini, sekaligus menjelaskan kenapa kedua organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia tersebut tetap bersikukuh dengan kriterianya masing-masing. Seyogyanya, keputusan pemerintah dapat dijadikan pedoman yang dapat dipertimbangkan dalam perumusan kalender hijriah nasional. Karena kriteria imkān ar-rukyāt Neo MABIMS sudah mengakomodir ketinggian 3 derajat dan 6,4 sudut elongasi dengan merujuk pada basis data pengamatan internasional. Namun, masih terdapat tokoh NU yang masih meyakini terlihatnya hilal 2 derajat sebagai dasar pergantian awal bulan Hijriah. Bahkan Muhammadiyah pun masih menerapkan kriteria lama yang dianggap usang